
Setelah usia 12 tahun, Kartini mulai
dipingit layaknya anak-anak keluarga priyayi Jawa lainnya dan pada waktu itu lingkungan
keluarga Kartini masih sangat kental dengan kultur mistis dan kebatinan. Dari
sinilah mulai terjadinya pergolakan batin yang luar biasa dalam diri Kartini,
adat istiadat yang telah berurat akar itu dianggap telah mengekangnya sebagai
perempuan. Ia merasa haknya untuk mendapatkan pendidikan secara utuh terbatasi,
tidak seperti teman-temanya di Eropa sana yang bebas mendapatkan pendidikan.
Sejak saat itu pula ia sering melakukan korespondensi dengan teman-temannya
yang kebanyakan orang Belanda dan berdarah Yahudi, seperti J. H Abendanon dan
istrinya Ny Abendanon Mandri, seorang humanis yang ditugaskan oleh Snouck Hurgronje
untuk mendekati Kartini. Ny Abendanon Mandri adalah seorang wanita kelahiran
Puerto Rico dan berdarah Yahudi.
Tokoh lain yang berhubungan dengan Kartini
adalah, H. H Van Kol (Orang yang berwenang dalam urusan jajahan untuk Partai
Sosial Demokrat di Belanda), Conrad Theodore van Daventer (Anggota Partai
Radikal Demokrat Belanda), K. F Holle (Seorang Humanis), dan Christian Snouck Hurgronje
(Orientalis yang juga menjabat sebagai Penasihat Pemerintahan Hindia Belanda),
dan Estella H Zeehandelar, perempuan yang sering dipanggil Kartini dalam
suratnya dengan nama Stella. Stella adalah wanita Yahudi pejuang feminisme
radikal yang bermukim di Amsterdam. Selain sebagai pejuang feminisme, Estella
juga aktif sebagai anggota Social Democratische Arbeiders Partij (SDAP).
Kartini berkorespondensi dengan Stella sejak 25 Mei 1899. Dengan perantara iklan yang di tempatkan dalam sebuah majalah di Belanda, Kartini berkenalan dengan Stella. Kemudian melalui surat menyurat, Stella memperkenalkan Kartini dengan berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Dalam sebuah suratnya kepada Ny Nellie Van Koll pada 28 Juni 1902, Stella mengakui sebagai seorang Yahudi dan mengatakan antara dirinya dan Kartini mempunyai kesamaan pemikiran tentang Tuhan. Stella mengatakan,”Kartini dilahirkan sebagai seorang Muslim, dan saya dilahirkan sebagai seorang Yahudi. Meskipun demikian, kami mempunyai pikiran yang sama tentang Tuhan. ”
Kartini berkorespondensi dengan Stella sejak 25 Mei 1899. Dengan perantara iklan yang di tempatkan dalam sebuah majalah di Belanda, Kartini berkenalan dengan Stella. Kemudian melalui surat menyurat, Stella memperkenalkan Kartini dengan berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Dalam sebuah suratnya kepada Ny Nellie Van Koll pada 28 Juni 1902, Stella mengakui sebagai seorang Yahudi dan mengatakan antara dirinya dan Kartini mempunyai kesamaan pemikiran tentang Tuhan. Stella mengatakan,”Kartini dilahirkan sebagai seorang Muslim, dan saya dilahirkan sebagai seorang Yahudi. Meskipun demikian, kami mempunyai pikiran yang sama tentang Tuhan. ”
Dr Th Sumarna dalam bukunya ”Tuhan
dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini” menyatakan ada surat-surat Kartini
yang tak diterbitkan oleh Ny. Abendanon Mandri, terutama surat-surat yang
berkaitan dengan pengalaman batin Kartini dalam dunia okultisme (kebatinan dan
mistis). Entah dengan alasan apa, surat-surat tersebut tak diterbitkan. Ny
Abendanon hanya menerbitkan kumpulan surat Kartini yang diberi judul ”Door
Duisternis tot Licht" (Habis Gelap Terbitlah Terang). Keterangan
mengenai kepercayaan Kartini terhadap okultisme hanya didapat dari
surat-suratnya yang ditujukan kepada Stella dan keluarga Van Kol. Seperti
diketahui, okultisme banyak diajarkan oleh jaringan Freemasonry dan Theosofi,
sebagai bagian dari ritual perkumpulan mereka.
Berikut ini surat-surat Kartini yang
sangat kental dengan pemahaman kebatinan Theosofi, sinkretisme yang mengusung
doktrin humanisme dan pluralisme agama:
”Ya
Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya, jika tidak pernah ada
agama. Sebab agama yang seharusnya justru mempersatukan semua manusia, sejak
berabad-abad menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, pangkal pertumpahan
darah yang sangat ngeri. Orang-orang seibu-sebapak ancam-mengancam
berhadap-hadapan, karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan Yang Esa, dan
Tuhan Yang Sama.” (Surat Kartini kepada Stella Zehandelaar, 6 November
1899)
”Agama dimaksudkan supaya memberi berkah. Untuk membentuk tali silaturrahmi antara semua makhluk Allah, berkulit putih atau coklat. Tidak pandang pangkat, perempuan atau laki-laki, kepercayan, semuanya kita ini anak Bapak yang seorang itu, Tuhan yang Maha Esa!” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)
”Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni.
” (Surat kepada Ny. Abendanon, 14 Desember 1902)
”Ketahuilah nyonya, bahwa saya anak Budha, dan itu sudah menjadi alasan untuk pantang makan daging. Waktu kecil saya sakit keras; para dokter tidak dapat menolong kami; mereka putus asa. Datanglah seorang Cina (orang hukuman) yang bersahabat denan kami, anak-anak. Dia menawarkan diri menolong saya. Orang tua kami menerimanya, dan saya sembuh. Apa yang tidak berhasil dengan obat-obatan kaum terpelajar, barhasil dengan “obat tukang jamu”. Ia menyembuhkan saya dengan menyuruh saya minim abu lidi sesaji kepada patung kecil dewa Cina. Karena minuman itulah saya menjadi anak leluhur suci Cina itu, yaitu Santik Kong dari Welahan.” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902)
”Kami bernama orang Islam karena kami keturunan orang-orang Islam, dan kami adalah orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka, tidak lebih. Tuhan, Allah, bagi kami adalah seruan, adalah seruan, adalah bunyi tanpa makna…” (Surat Kartini kepada E. C Abendanon, 15 Agustus 1902).
”Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani, maupun Islam, dan lain-lain” (Surat kepada Ny. Van Kol, 31 Januari 1903)
”Kalau orang mau juga mengajarkan agama kepada orang Jawa, ajarkanlah kepada mereka Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha Pengasih, Bapak semua umat, baik Kristen maupun Islam, Buddha maupun Yahudi, dan lain-lain.” (Surat kepada E. C Abendanon, 31 Januari 1903)
”Ia tidak seagama dengan kita, tetapi tidak mengapa, Tuhannya, Tuhan kita. Tuhan kita semua.” (Surat Kepada H. H Van Kol 10 Agustus 1902)
”Betapapun jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tapi kesemuanya itu menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu Kebaikan. Kita juga mengabdi kepada Kebaikan, yang tuan sebut Tuhan dan kami sendiri menyebutnya Allah.” (Surat Kartini kepada N. Adriani, 24 September 1902)
“Orang yang tidak kami kenal secara pribadi hendak membuat kami mutlak penganut Theosofi, dia bersedia untuk memberi kami keterangan mengenai segala macam kegelapan di dalam pengetahuan itu. Orang lain yang juga tidak kami kenal menyatakan bahwa tanpa kami sadari sendiri, kami adalah penganut Theosofi.” (Surat Kartini kepada Ny Abendanon, 24 Agustus 1902).
Hari berikutnya kami berbicara dengan Presiden Perkumpulan Theosofi, yang bersedia memberi penerangan kepada kami, lagi-lagi kami mendengar banyak yang membuat kami berpikir.” (Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 15 September 1902).
Ada beberapa hal yang menarik yang harus kita telusuri dan analisis bersama terkait Apakah korespondensi Kartini dengan para keturunan Yahudi penganut humanisme, yang juga diduga kuat sebagai aktivis jaringan Theosofi-Freemasonry, berperan penting dalam mempengaruhi pemikiran Kartini? Ridwan Saidi dalam buku “Fakta dan Data Yahudi di Indonesia” menyebutkan, sebagai orang yang berasal dari keturunan priayi atau elit Jawa dan mempunyai bakat yang besar dalam pendidikan, maka Kartini menjadi bidikan kelompok Theosofi, sebuah kelompok yang juga banyak digerakkan oleh orang-orang Belanda saat itu. Betapa tidak, ia adalah salah satu sosok perempuan berbeda dengan perempuan pada umumnya di masa itu, ia cerdas, berpikiran maju dan pergaulannya luas, namun sayang selama proses perjalanannya itu ia belum menemukan jati dirinya sebagai perempuan Indonesia yang beragama islam (muslim). Sebenarnya ia hanyalah remaja lugu dan polos yang masih memerlukan bimbingan juga pemahaman terkait agamanya. Ia merasa kecewa terhadap agamanya dikarenakan suatu ketika ia sedang belajar ngaji kepada salah seorang gurunya, dan menanyakan arti dan maksud dari ayat Al-Qur’an yang sedang dibacanya itu, maka sang guru melarangnya untuk menanyakan hal-hal yang dianggapnya sakral dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Dari sana timbul rasa kecewa terhadap ajarannya, kenapa ia tidak boleh menanyakan hal itu, padahal ia ingin memahami agamanya. Semenjak itu ia sempat tidak mau mengikuti pengajian lagi, karena menurutnya ketika ia mempelajari sesuatu yang tidak dimengertinya juga tidak dipahaminya untuk apa? Percuma, hanya buang-buang waktu dan tenaga. Hal itu terlihat dari surat kiriman Kartini mengenai agamanya kepada Stella:
Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?” (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899)
“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya. (Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902)
Dari surat-surat itu menegaskan bahwa Kartini adalah sosok perempuan yang kritis, yang serba ingin tau atas apa yang sedang ia baca dan ia pelajari. Kecerdasan Kartini itu juga terbukti dengan diterimanya lamaran pengajuan beasiswa ke Belanda oleh pemerintah Hindia-Belanda, namun dengan beberapa pertimbangan dan sulitnya mendapatkan ijin dari pihak keluarga akhirnya ia tidak jadi berangkat, dan beasiswa itu diserahkan kepada sahabatnya yakni H.Agus Salim. Sayangnya, pada saat itu kondisi Indonesia sedang mengalami gejolak pergerakan kaum muda, yang mengharuskan H.Agus Salim sebagai salah seorang tokoh dari kalangan pemuda untuk tetap berada di tanah kelahirannya. Sementara itu, Kartini pun menikah dengan Bupati Rembang Adipati Djojodiningrat yang dikenal sebagai Bupati yang maju dan berpikiran modern yang dilangsungkan dengan cara yang sederhana.
Sebelumnya kita tahu bahwa yang merekatkan hubungan Kartini dengan para elit Belanda adalah Christian Snouck Hurgronje, ia yang mendorong J.H Abendanon agar memberikan perhatian lebih kepada Kartini bersaudara. Hurgronje adalah sahabat Abendanon yang dianggap oleh Kartini dan para sahabatnya (termasuk H.Agus Salim) mengerti soal-soal hukum agama Islam. Atas saran Hurgronje agar Abendanon memperhatikan Kartini bersaudara, sampailah pertemuan antara Abendanon dan Kartini di Jepara. Sebagai seorang orientalis, aktivis Gerakan Politik Etis, dan penasihat pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronje juga menaruh perhatian kepada anak-anak dari keluarga priyayi Jawa lainnya. Hurgronje berperan mencari anak-anak dari keluarga terkemuka untuk mengikuti sistem pendidikan Eropa agar proses asimilasi berjalan lancar. Langkah ini persis seperti yang dilakukan sebelumnya oleh gerakan Freemasonry lewat lembaga ”Dienaren van Indie” (Abdi Hindia) di Batavia yang menjaring anak-anak muda yang mempunyai bakat dan minat untuk memperoleh beasiswa. Kader-kader dari ”Dienaren van Indie” kemudian banyak yang menjadi anggota Theosofi dan Freemasonry. Maka dari itu, dengan tidak jadinya Kartini juga H.Agus Salim berangkat ke Belanda untuk menimba ilmu disana melalui jalur beasiswa yang ditawarkan oleh pihak mereka adalah rencana dan takdir Allah yang terbaik, karena jika salah satu dari mereka ada yang berangkat mungkin sejarahnya tidak akan seperti ini lagi. Hal itu juga secara tidak langsung sudah menggagalkan rencana mereka dalam proses asimilasi dan pendoktrinan ajaran Theosofi-Freemasonry kepada generasi muda Indonesia. Allahu Akbar..!
Kembali lagi
kepada pembahasan, ketika kita berbicara mengenai sosok Kartini, tentu kita
harus melihatnya dari berbagai arah dan sudut pandang. Sungguh tidak adil
ketika kita melihat sejarah hanya
berdasarkan pandangan subyektif seseorang atau beberapa tokoh saja, tentu kita
harus berpandangan objektif dan harus memahaminya secara integral jangan
parsial. Begitupun ketika kita ingin lebih mengenal siapa sosok Kartini
sesungguhnya, janganlah hanya membaca salah satu buku kumpulan
tulisan-tulisannya yang diterbitkan oleh Abendanon. Jika kita hanya bersumber
kepada buku itu, pastilah kita sudah mendefinisikan bahwa sosok Kartini tidak
lebih dari sosok perempuan yang hanya bisa curhat lewat surat-surat yang
dikirimkannya kepada orang-orang Belanda itu, dan tak ubahnya bahwa Kartini
adalah penganut Theosofi dan Pluralisme juga penganut paham Feminisme. Kita tidak
tahu bahwa Abendanon adalah seorang pemerintahan Belanda yang membawa misi
orientalis itu jujur atau tidak dalam menerbitkan tulisan-tulisan Kartini,
siapa tau telah melalu proses pengeditan
beberapa kali. Selain itu, ternyata tidak semua surat yang dikirimkan oleh
kartin diterbitkan, bahkan tadi mungkin yang telah diterbitkan pun telah mengalami
proses editing atau rekayasa dan sebagainya (Wallahu’alam bishowab). Terbukti
didalam bukunya ia tidak menceritakan pertemuan Kartini dengan salah seorang
ulama terkemuka di Jawa yakni Kyai Haji Muhammad Sholeh bin Umar dari Darat,
yang lebih dikenal dengan Kyai Haji Sholeh Darat (guru para ulama besar di Indonesia
diantaranya: KH. A.Dahlan (pendiri Muhamadiyah) KH. Hasyim Asyari (pendiri
Nahdlatul Ulama NU)). Sejarah ini dituliskan dalam buku Tragedi Kartini (2001),
Asma Karimah.
Dalam buku itu
disebutkan, suatu ketika ia pergi berkunjung ke rumah pamannya seorang Bupati
Demak Pangeran Ario Hadiningrat. Pada saat itu dirumah pamannya sedang
dilangsungkan acara pengajian bulanan keluarga, dan Kartini pun ikut
mendengarkan dibalik hijab (tabir) bersama Raden Ayu yang lainnya. Ia tertarik
dengan pengajian yang disampaikan oleh Kyai Sholeh Darat yang saat itu membahas
tentang tafsir Al-Qur’an Surah Al-Fatihah. Selesai acara pengajian pun Kartini
mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai tersebut. Berikut adalah
dialognya seperti yang ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh
Darat:
“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”.
Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu.
“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?”
Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya.
“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Pertanyaan
itu membuat Kyai Sholeh Darat tergugah untuk menerjemahkan Al-Qur’an kedalam
bahasa Jawa. Tapi pada saat itu pemerintah kolonial Belanda secara resmi
membuat larangan bahwa tidak ada yang boleh menerjemahkan Al-Qur’an. Dengan
kecerdasan dan kecerdikan sang Kyai, akhirnya beliau tetap menerjemahkan
Al-Qur’an kedalam bahasa Jawa dengan menggunakan huruf Arab Pegon, tujuannya agar
tidak terbaca oleh para kolonial dan tidak dicurigai bahwa sebenarnya itu
adalah terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Jawa. Dihari pernikahan Kartini dengan
Bupati Rembang
Adipati Djojodiningrat, Kyai Sholeh Darat menghadiahkan terjemahan Al-Qur’an (Faizhur
Rohman Fit Tafsiril Qur’an) jilid I yang terdiri dari 13 juz, mulai dari
Surah Al-Fatihah sampai dengan Surah Ibrahim. Alangkah senangnya Kartini
mendapatkan hadiah terjemahan Al-Qur’an itu terlihat dari ungkapannya “Selama
ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya.
Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna
tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa
yang saya pahami.” Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi
sayang, tidak lama setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia sebelum
menyelesaikan penerjemahan Al-Qur’an kedalam bahasa Jawa. Nama Kyai Sholeh
Darat tidak pernah dituliskan secara eksplisit oleh Kartini dalam
surat-suratnya, namun kegembiraan Kartini menerima terjemahan Al-Quran pernah
ia tuliskan dalam salah satu suratnya.
”Wahai! Kegembiraan orang-orang tua mengenai
kembalinya anak-anak yang tersesat kepada jalan yang benar demikian
mengharukan. Seorang tua di sini, karena girangnya yang sungguh-sungguh tentang
hal itu menyerahkan kepada kami naskah-naskah lama Jawa. Kebanyakan ditulis
dengan huruf Arab. Sekarang kami hendak belajar lagi membaca dan menulis huruf
Arab. Kamu barangkali tahu, bahwa buku-buku Jawa itu sukar sekali didapat,
karena ditulis dengan tangan. Hanya beberapa buah saja yang
dicetak.” (Surat Kartini kepada E.C. Abendanon, 17 Agustus 1902)
Setelah mendapatkan hadiah terjemahan Al-Qur’an
dari Kyai Sholeh Darat Kartini sering menghabiskan waktunya dengan membaca
terjemahan itu. Kyai Sholeh telah membawa Kartini ke transformasi spiritual.
Pandangan Kartini terhadap Barat (baca:Eropa) berubah. Hal itu terlukiskan
dalam surat-surat yang ditulis Kartini pada masa itu.
“Sudah lewat masanya,
semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling
baik, tiada tarnyaa. Maafkan kami. Tetapi apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna?
Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu
terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?” (Surat Kartini
kepada E.C Abendanon 27 Oktober 1902 )
“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan
murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa
Kebarat-baratan” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 10 Juni 1902)
“Moga-moga
kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama
Islam patut disukai.” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)
“Astaghfirullah,
alangkah jauhnya saya menyimpang”
(Surat
Kartini kepada Ny. Abendanon, 5 Maret 1902)
“Ingin
benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: Hamba Allah.”
(Surat
Kartini kepada Ny. Abendanon, 1 Agustus 1903)
Demikianlah, menilai Kartini dengan parsial
tentu akan mendzaliminya. Jika kita ibaratkan Kartini adalah suatu Maha Karya
ciptaan Sang Khaliq maka kita menggunakan orientasi objektif dalam menilainya,
yakni memandang suatu karya sebagai sesuatu hal yang mandiri, otonom dan
mandiri. Karena kita tahu bahwa Kartini juga manusia biasa yang tak luput dari
salah dan khilaf, ketika dulu kehidupan ia yang kental dengan ajaran-ajaran
theosofi, sinkretisme dan plural semata-mata itu dikarenakan doktrin dan
pengaruh misionaris yang memanfaatkan kecerdasan Kartini demi kepentingan
mereka. Seolah-olah mereka ingin menanamkan pola pikir dan pemahaman Barat (Eropa)
pada sosok perempuan pribumi yang mampu mempengaruhi dan menjadi sumber
inspirasi kaum perempuan Indonesia kedepannya, akhirnya masyarakat indonesia
khususnya kaum perempuan beranggapan bahwa perempuan hebat itu ialah mereka
yang dididik oleh Barat (Eropa), padahal kenyataanya tidak seperti itu. Semula
memang karena keterbatasan dan kurangnya pengetahuan Kartini tentang agama
menjadi salah satu penyebab ia mudah terpengaruh dan terpropokasi oleh kaum
misionaris. Sehingga masa itu bisa dikatakan masa gelapnya ia, ketika
pemikirannya banyak dipengaruhi oleh hal-hal yang berbau ajaran freemason juga
keyakinan terhadap agama atau kepercayaannya masih sangat lemah. Namun setelah
bertemu dengan Kyai itu, Kartini akhirnya menemukan cahaya yang dari dulu ia cari.
Meskipun tidak lama ia meraihnya, karena setahun setelah ditinggalkan oleh
Kyai, Kartini pun meninggal dunia diusianya yang ke-25 tahun. Sebagai seorang muslim tentu kita berharap, Kartini meninggal dalam
keadaan sempurna keislamannya, tanpa ada lagi noda-noda pemahaman yang
mengganggap semua agama sama (pluralisme).
Dan
yang harus kita ketahui bahwa emansipasi yang diusung Kartini dulu berbeda
dengan emansipasi yang digembar-gemborkan saat ini. Ketika dulu Kartini
menuntut haknya sebagai seorang perempuan untuk bebas mendapatkan pendidikan
dan pengajaran untuk bekal hidupnya juga peranannya kelak menjadi seorang istri
dan ibu dari anak-anaknya. Seperti yang tertulis dalam suratnya kepada
Prof.Anton dan istrinya:
“Kami di sini
memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan. Bukan sekali-kali kami menginginkan
anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya.
Tapi kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar
wanita lebih cakap dalam melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam
sendiri kedalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia pertama-tama” (Surat Kartini
kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902)
Sedangkan emansipasi yang ada sekarang,
lebih menuntut untuk kesamaan gender antara kaum laki-laki dan perempuan,
bahkan kalau sebagian paham feminisme di Barat menuntut emansipasi itu agar
kedudukan perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki. Padahal hal itu sangat bertentangan
dengan Islam. Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 228 dijelaskan bahwa kaum laki-laki
memiliki perbedaan dengan kaum perempuan, dan Allah memberikan kelebihan kepada
kaum laki-laki dalam hal kepemimpinan yang tidak dimiliki oleh kaum perempuan.
Diantara
kita mungkin ada yang keberatan atau beranggapan tentang hal yang dilakukan Kartini
itu adalah sesuatu yang biasa (karya kecil). Kalau hanya sekedar wacana surat-menyurat
semua orang juga bisa melakukannya, dan kalau dibandingkan dengan tokoh-tokoh
pejuang perempuan yang lainnya seperti Rohana Kudus, Dewi Sartika dan Cut Nyak
Dien, Kartini tidaklah ada apa-apanya. Mereka lebih berkarya dan beraksi juga
berkontribusi secara nyata dengan mendirikan sekolah khusus perempuan dan
adengan langsung turun ke medan perang. Tapi terlepas dari semua itu, tetap
kita harus menghargai apa yang telah Kartini lakukan pada masa itu. Mungkin
ketika kita melihat apa yang dilakukan Kartini itu dari kaca mata modern tidak
akan ada apa-apanya tapi lihatlah seuatu itu sesuai dengan zamannya. Kalau kata
Ustadz Salim A. Filah dalam artikelnya yang berjudul Kartini, ‘Kerinduan pada
Cahaya di Tengah Gulita’ menyebutkan “Tentu
saja, jika semua pembawa cahaya untuk zamannya ditimbang dengan ukuran masa
kini, maka mereka hanya akan menjadi lentera usang penuh noda. Lihatlah Kartini
dan ukurlah dengan zamannya ketika da’wah adalah kata yang nyaris asing.
Selebihnya, mari berrendahhati untuk mengakui keagungan para pendahulu..” Pada
masa itu tidak banyak kaum perempuan yang memiliki cara pandang juga pemikiran
yang berorientasi pada masa depan bangsa (visioner) seperti Kartini, yang gagasannya
itu dituangkan kedalam bentuk tulisan, tak lain itu adalah salah satu bentuk
protes juga usahanya untuk menyampaikan aspirasi sebagai kaum perempuan yang
merasa haknya belum ia dapatkan sepenuhnya. Kita akui bahwa pada zaman itu Kartini
membuktikan pribahasa yang menyebutkan bahwa “pena bisa lebih tajam dari pedang”, lantas apakah pribahasa itu
masih berlaku di zaman sekarang? Jawabannya dikembalikan lagi kepada pembaca.
Begitupun ketika sekarang kita berbicara tentang Kartini, membahas panjang
lebar tentang sejarah kehidupan, pemikiran, juga orang-orang yang ada
disekelilingnya tak lain tujuannya agar sosok Kartini yang dijadikan sebagai
pahlawan nasional terlihat utuh, tidak parsial. Mulai dari masa jahiliyahnya
(gelap) hingga cahaya islam itu datang kepadanya. Karena hakikatnya setiap
orang itu bisa disebut sebagai pahlawan dalam bidangnya dan pada zamannya, dan Kartini
adalah pahlawan pada bidang tertentu di zamannya. Selain itu pasca penerbitan
buku kumpulan surat-surat Kartini, membawa dampak positif kepada pergerakan
kaum muda hususnya kaum perempuan dalam peranannya untuk memajukan agama juga
bangsanya. Seperti terlahirnya Rahmah El Yunusiyyah tokoh perempuan yang
bergerak dibidang pendidikan untuk perempuan dari Sumatra Utara.
(dari Berbagai Sumber)
by BPP KAMMI UPI
0 komentar:
Posting Komentar