Minggu, 22 Mei 2011

Wajah Duniamu Kini


Wajah Duniamu kini
Oleh Gia Juniar (Staf Departemen Kaderisasi KAMMI UPI 2011)

“Negara memprioritaskan anggaran  pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari  anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan  belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.” Bunyi ayat 4 pasal 31 UUD 1945 perubahan ke IV ini sudah cukup menjelaskan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas pendanaan pendidikan. Sudah tentu sosialisasi ayat di atas telah dilakukan ke setiap kepala daerah. Maka sudah menjadi keharusan pula setiap kepala daerah menjalankan amanat konstitusi tersebut di daerahnya.
Jika aturan ini telah diterapkan dengan baik, seharusnya pendidikan Indonesia sudah jauh lebih maju dari kondisi saat ini. Tak ada alasan pendidikan Indonesia menjadi yang terburuk se-Asia seperti yang dilansir salah satu media massa, ‘Berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001 saja menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (www.kompas.com).’
 Ironis.
Mengapa ini bisa terjadi?
Faktanya adalah , ternyata belum semua daerah menerapkan amanat konstitusi di atas. Salah satu contohnya adalah Gorontalo. Anggaran pendidikan Gorontalo hanya mencapai 18,9 % dari APBD-nya pada 2011 ini. Daerah yang sudah menganggarkan 20% APBD untuk pendidikan pun tak sedikit yang ternyata belum sesuai dengan ketetapan konstitusi yang ada seperti yang tertuang dalam  UU Sistem Pendidikan Nasional Pasal 49 ayat 1 mengenai pengalokasian dana pendidikan, “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara  (APBN) pada sektor pendidikan  dan  minimal  20%  dari  Anggaran  Pendapatan  dan  Belanja  Daerah (APBD).”. Nyatanya APBD sebesar 20% itu ternyata habis untuk belanja pegawai dan operasional dinas pendidikan. Semoga saja tak tambah terkikis oleh korupsi yang kita jua tahu  merajalela di dunia pendidikan tercinta ini.
Jika anggaran pendidikan sudah tepat sasaran, maka tak perlu ada fakta di lapangan yang menyatakan, ‘Sebanyak 460 pekerja rumah tangga anak (PRTA) merupakan anak putus sekolah. Data tersebut didapat dari survei yang dilakukan Lembaga Perlindungan Anak di Kecamatan Sukasari dan Margahayu.’(http://pasundanrayamilikku.blogspot.com). Juga tak perlu ada berita Warga Kampung Cinakeum, Desa Citorek Barat, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, yang berjumlah puluhan kepala keluarga, seluruhnya buta huruf, karena di permukiman itu tidak ada sarana pendidikan.’ (http://Republika.co.id).
Head line di sebuah surat kabar online ibukota menambah miris wajah pendidikan Indonesia  346 Gedung Sekolah Rusak Parah Pelajar & Guru Wajib Helm’. Dunia pendidikan di Jakarta kian mengkhawatirkan. Tidak hanya karena kondisi ratusan gedung sekolah yang rawan roboh . Tetapi, ancaman banjir juga turut memperparah kondisi pendidikan di Jakarta. Berdasarkan catatan, sebanyak 132 sekolah berada di lokasi yang rawan banjir, termasuk sekolah favorit SMAN 8 Bukit Duri. Akibat lokasi tergenang air khususnya  saat musim hujan, membuat proses pelajar mengajar sering terganggu, bahkan terpaksa harus diliburkaan. Selain itu, genangan air juga mempercepat proses rusaknya bangunan gedung sekolah.( http://www.beritabatavia.com).
Jika amanat konstitusi sudah dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, maka tak perlu lagi kita mendangar berita-berita memprihatinkan dari dunia pendidikan ini.

0 komentar:

Posting Komentar