oleh: Wawan Sutiawan (Staf Kaderisasi KAMMI UPI 14)
Tujuan da’wah Islam adalah li i’laa-i kalimatillah, untuk
menegakkan syari’at Allah di muka bumi ini. Yaitu tegaknya suatu system kehidupan yang
mengarahkan manusia pada suatu prosesi penghambaan hanya kepada Allah saja. Apabila
syari’at Allah belum tegak, maka beragam prosesi penghambaan kepada selain
Allah akan marak dan terus tumbuh subur.
Untuk mencapai tujuan tersebut, hanya ada
satu jalan, yaitu: jalan da’wah. Inilah jalan yang telah ditempuh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Rasul-Rasul sebelumnya, juga para shiddiqin,
syuhada dan shalihin, sebagaimana wasiat Allah swt kepada Rasul-Nya:
وَأَنَّ
هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ
بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan inilah jalanKu yang
lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah engkau ikuti jalan-jalan lain, karena
itu semua akan menyesatkanmu dari jalan-Nya. Itulah yang telah diwasiatkan
kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-An’am:153)
Di atas jalan inilah Rasulullah beserta
pengikut-pengikutnya melangkah, walaupun jalan tersebut berliku, terjal, penuh
onak duri bahkan binatang-binatang buas yang siap menerkam. Beliau dan
pengikutnya tidak akan berhenti hingga tidak ada lagi fitnah dan sistem Allah
(Dienullah) tegak di muka bumi ini secara total.
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ ۚ فَإِنِ انْتَهَوْا
فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“…hingga tidak ada lagi fitnah, dan Dien seluruhnya adalah milik Allah.” (QS. Al-Anfal:39).
Sehubungan dengan ini Imam Hasan Al-Banna
rahimahullah menyatakan, “Jalan da’wah adalah jalan satu-satunya. Jalan yang dilalui
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.Jalan yang juga
dilalui para da’i yang mendapat taufiq Allah. Bagi kita, jalan ini adalah jalan iman
dan amal, cinta dan persaudaraan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajak
para sahabat kepada iman dan amal. Menyatukan hati mereka dengan jalinan cinta
dan persaudaraan. Maka, terhimpunlah kekuatan aqidah yang menjadi kekuatan
wahdah (persatuan). Jadilah mereka jama’ah yang ideal. Kalimatnya
pasti tegak dan da’wahnya pasti menang, walaupun seluruh penduduk bumi memusuhinya.”
Beliau memilih jalan yang telah dilalui
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ini dengan berlandaskan pada tiga
kekuatan: kekuatan aqidah dan iman, kekuatan wahdah dan irtibath (jalinan yang
kohesif), serta kekuatan senjata dan militer.
Beliau juga menentukan tahapan-tahapan
perjuangan da’wah dan aktivitas gerakan, yaitu marhalah ta’rif (tahap pengenalan),
marhalah takwin (tahap pengkaderan) dan marhalah tanfidz (tahap operasional).
Disamping juga menetapkan target dan sasaran yang berjenjang melalui proses
tarbiyah, yaitu:
1.
Terbentuknya pribadi muslim yang
ideal
2.
Terwujudnya keluarga muslim yang
bertaqwa
3.
Terbinanya masyarakat muslim yang responsif terhadap seruan Allah
4.
Tegaknya pemerintahan Islam yang
berlandaskan syari’at Allah.
5.
Tegaknya Daulah Islamiyah di bawah koordinasi Khilafah Islamiyah,
hingga menjadi tauladan dunia, dengan idzin Allah.
Demikianlah beliau dengan para ikhwan
lainnya memahami dan mengamalkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Dan dalam
mengorganisir gerakan da’wahnya, beliau tentukan rukun bai’at yang sepuluh (arkaul bai’at al-‘asyarah), dan menjadikan
faham (pemahaman) sebagai rukun bai’at yang pertama dan utama. Kemudian meletakkan
prinsip-prinsip yang dua puluh, sebagai kerangka yang menjelaskan pemahaman
ini.
Gerakan
Ikhwanul Muslimin yang beliau dirikan inilah yang menginspirasi munculnya
gerakan-gerakan Islam lain di seluruh penjuru dunia. Termasuk gerakan-gerakan
Islam di Indonesia sebagian besar merujuk pada manhaj da’wah yang dirumuskan oleh
para ulama Ikhwan.
a.
Penyimpangan Dalam Gerakan Da’wah
Setelah mengalami berbagai kendala, ujian
dan cobaan, alhamdulillah gerakan da’wah kita semakin diperhitungkan oleh banyak
kalangan, terutama setelah gerakan ini memasuki mihwar siyasi (orbit politik)
dengan memunculkan sebuah partai da’wah. Tentu banyak nilai positif yang dapat kita
petik dari kehadiran partai da’wah ini, disamping ada pula ekses-ekses negatifnya,
bagi da’wah itu sendiri.
Semakin besar dukungan masyarakat terhadap
partai ini, tentu semakin besar pula beban tanggung jawab yang harus dipikul.
Adalah manusiawi apabila dalam proses perjalanan gerakan da’wah di ranah politik ini ada
oknum-oknum aktifis da’wah (da’i) yang tergelincir dari jalan da’wah ini. Apalagi apabila
partai ini semakin besar, maka terjadinya penyimpangan di kalangan pengurus
partai pun akan semakin besar. Oleh karenanya mengetahui bentuk-bentuk
penyimpangan da’wah menjadi keharusan, agar kita semua terhindar darinya.
Keberhasilan
dakwah Islam bergantung pada sejauh mana para pendukungnya berpegang teguh kepada
keaslian ghoyah (tujuan) ahdaf (sasaran), dan khiththah (garis perjuangan).
Penyimpangan dalam bentuk apapun dan sekecil apapun tak boleh dibiarkan karena
bisa berkembang menjadi besar dan membahayakan gerakan dakwah.
1.
Penyimpangan dalam Ghayah (Tujuan)
Penyimpangan ini termasuk penyelewengan yang
paling berbahaya. Tujuan da’wah secara moral adalah semata-mata karena Allah Ta’ala. Apabila ada motif
selain itu, seperti motif-motif duniawi atau kepentingan pribadi yang
tersembunyi, adalah penyimpangan.
Setiap penyimpangan tujuan, meskipun ringan
atau kecil, tetap akan menyebabkan amal tersebut tertolak. Penyimpangan ini
tidak harus berarti mengarahkan motif secara total ke tujuan duniawi. Tetapi
sedikit saja niat yang ada di dalam hati bergeser dari Allah, maka sudah
termasuk penyimpangan. Allah tidak akan pernah menerima amal seseorang kecuali
yang ikhlas karena-Nya. (QS. Az-Zumar:3, 11-14, Al-Bayyinah:5)
Riya’, ghurur (lupa diri),
sombong, egois, gila popularitas, merasa lebih cerdas, lebih pengalaman, lebih
luas wawasannya, lebih mengerti syari’ah dan da’wah, terobsesi asesoris duniawi, seperti: jabatan,
kehormatan, kekuasaan, kekayaan; adalah penyakit-penyakit hati yang
menyimpangkan para da’i dari tujuan da’wah yang sebenarnya.
Berda’wah itu harus bebas dari
kebusukan. Barangsiapa yang berniat baik dan ikhlas, Allah akan menjadikannya
sebagai pengemban da’wah. Barangsiapa menyimpan kebusukan di dalam hatinya, Allah
sekali-kali tidak akan menyerahkan da’wah ini kepadanya.
Demikian pentingnya ikhlas ini hingga Imam
Hasan Al-Banna rahimahullah menjadikannya salah satu dari rukun bai’at. Seluruh kader wajib
berkomitmen dengannya. Menepati dan menjaganya dari segala noda, agar gerakan
da’wah ini tetap bersih dan suci.
Menurut Imam Hasan Al-Banna rahimahullah,
pengertian ikhlas adalah menujukan semua ucapan, perbuatan, perilaku dan
jihadnya hanya kepada Allah semata; demi mencari ridha dan pahala-Nya, tanpa
mengharapkan keuntungan, popularitas, reputasi, kehormatan, atau karir. Dengan
keikhlasan ini seorang kader da’wah akan menjadi pengawal fikrah dan aqidah; bukan
pengawal kepentingan dan keuntungan.
2.
Penyimpangan dalam Ahdaf (Sasaran Utama)
Imam Hasan Al-Banna rahimahullah menjelaskan
sasaran yang hendak dituju, yakni menegakkan syari’at Allah di muka bumi dengan
mendirikan Daulah Islamiyah, dan mengembalikan kejayaan Khilafah Islamiyah,
sembari menyerukan Islam kepada seluruh manusia.
Dalam risalahnya yang berjudul “Bayna al-Ams wa al-Yaum” (“Antara Kemarin dan Hari ini”), Imam Al-Banna
rahimahullah mengatakan: “Ingatlah! Kalian mempunyai dua sasaran utama yang
harus diraih: Pertama, membebaskan bumi Islam dari semua bentuk penjajahan
asing. Kemerdekaan, adalah hak asasi manusia. Tidak ada yang mengingkarinya
kecuali orang zhalim, durhaka dan tiran.
Kedua, menegakkan di Negara yang
dimerdekakan itu, berupa Negara Islam Merdeka, yang bebas melaksanakan
hukum-hukum Islam, menerapkan sistem sosial, politik, ekonominya,
memproklamirkan Undang-Undang Dasarnya yang lurus, dan menyampaikan da’wah dengan hikmah. Selama
Negara Islam belum tegak, maka selama itu pula seluruh umat Islam berdosa, dan
akan dimintai tanggung jawabnya di hadapan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha
Besar. Disebabkan keengganan mereka menegakkan syari’at dan Negara Islam, serta
ketidakseriusan mereka dalam upaya mewujudkannya.”
Dalam risalah Al-Ikhwan Al-Muslimun “Di bawah bendera Al-Qur’an”, beliau menjelaskan tugas
dan target gerakan da’wah ini: “Tugas besar kita adalah membendung arus
materialisme, menghancurkan budaya konsumerisme dan budaya-budaya negatif yang
merusak umat Islam. Materialisme dan konsumerisme menjauhkan kita dari
kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan petunjuk Al-Qur’an, menghalangi dunia dari
pancaran hidayah-Nya, dan menunda kemajuan Islam ratusan tahun. Seluruh faham
dan budaya tersebut harus dienyahkan dari bumi kita, sehingga umat Islam
selamat dari fitnahnya.
Kita tidak berhenti sampai di sini. Kita
akan terus mengejarnya sampai tempat asalnya, dan menyerbu ke markasnya, hingga
seluruh dunia menyambut seruan baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian
dunia ini terselimuti ajaran-ajaran Al-Qur’an, dan nilai-nilai Islam
yang teduh menaungi seisi bumi. Pada saat itulah sasaran dan target kaum
Muslimin tercapai.”
Dalam menyoroti keadaan negeri-negeri Muslim
sekarang ini beliau menyatakan dengan gamblang: “Sungguh ini merupakan
kenyataan yang dapat kita saksikan. Idealitas Undang-Undang Dasar Islam berada
di satu sisi, sedangkan realitas objektifnya berada di sisi lain. Karena itu
ketidakseriusan para aktifis da’wah untuk memperjuangkan diberlakukannya hukum Islam
adalah suatu tindakan kriminal; yang menurut Islam tidak dapat diampuni dosanya
kecuali dengan upaya membebaskan sistem pemerintahan dari tangan pemerintah
yang tidak memberlakukan hukum-hukum Islam secara murni dan konsekuen.”
Demikianlah ahdaf (sasaran utama) dari
gerakan da’wah ini dirumuskan oleh tokoh utama dan pemimpin gerakan da’wah kotemporer, Imam Hasan
Al-Banna rahimahullah.
Jadi,
apabila ada aktifis da’wah (da’i) yang menyatakan bahwa partai da’wah ini tidak akan
memperjuangkan syari’at Islam, dengan alasan apapun (politis maupun diplomatis), jelas telah
menyimpang dan menyeleweng dari sasaran gerakan da’wah yang utama. Mestinya
mereka justru menyebarkan opini tentang kewajiban menegakkan syari’ah bagi setiap muslim,
secara massif, bukan malah menyembunyikanya. Apalagi di era reformasi yang
setiap orang bebas bicara apa saja karena dilindungi Undang-Undang.
Kemudian, apabila partai da’wah berkoalisi dengan
partai, organisasi, atau komunitas lain yang berbasis ideologi asing, juga
telah menyimpang. Karena tugas gerakan da’wah Islam adalah membebaskan
umat dari penjajahan atau dominasi asing, baik itu ideologi, politik, ekonomi,
maupun sosial. Bukan malah bekerjasama dalam ketidakjelasan maksud dan tujuan.
Para kader da’wah atau da’i yang terpengaruh kemudian
menganut paham materialisme dan gaya hidup konsumerisme juga telah menyimpang
dan menyeleweng dari sasaran gerakan da’wah ini. Mereka seharusnya
memberi contoh berupa keteladanan hidup yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sederhana
dan santun dalam keinginan dan kebutuhan.
Kesalahan dan dosa mereka hanya bisa ditebus
dengan menyosialisasi kewajiban menegakkan syari’at kepada seluruh elemen
umat, dan memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh; serta menghindari diri dari
sikap dan perilaku materialistis dan konsumtif.
3.
Penyimpangan dalam Pemahaman
Salah satu persoalan mendasar dalam gerakan
da’wah adalah: Pemahaman. Pemahaman yang benar dan utuh tentang Islam dan
manhaj da’wah Islam menjadi krusial, sebab kekeliruan pemahaman akan Islam dan
manhaj da’wahnya menjadikan gerakan ini berbelok arah, sehingga tidak akan pernah
sampai ke tujuan.
Imam
Al-Banna rahimahullah memberikan perhatian yang serius terhadap persoalan
pemahaman ini. Ia curahkan segenap kemampuannya untuk menyuguhkan Islam
sebagaimana yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
wujudnya yang bersih dari segala bentuk penyimpangan, baik dalam hal aqidah,
ibadah dan syari’ah. Terhindar dari pertentangan yang dapat memecah belah umat, dan
distorsi hakikat Islam yang dilakukan para musuh Islam di masa lalu maupun
kini. Dan beliau menjadikan pemahaman ini rukun bai’at yang pertama dan utama.
Bentuk-bentuk
penyimpangan dalam pemahaman ini, antara lain:
o. Mengadopsi
pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan pemahaman yang benar tentang
Islam, Al-Qur’an dan Sunnah shahih, melontarkan dan menyosialisasikan pemikiran aneh
tersebut sehingga membuat bingung umat.
o. Menolak
hadits-hadits shahih dan hanya menerima Al-Qur’an saja. Mengutamakan
rasionalitas ketimbang hadits-hadits shahih, dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tendensius tanpa
kaidah-kaidah yang benar.
o. Memaksakan
semua kader da’wah untuk mengikuti satu pendapat ijtihadiyah dalam masalah furu’ yang memiliki beberapa
penafsiran pendapat. Pemaksaan seperti ini akan mengubah gerakan/jama’ah da’wah menjadi firqah, atau
madzhab tertentu; yang bukannya tidak mungkin akan dengan mudahnya mengeluarkan
statement: “Siapa yang sependapat dengan kami maka dia adalah golongan kami. Yang
tidak sependapat, dia bukan golongan kami, maka pergilah menjauh dari kami.”Perlu diingat bahwa gerakan
da’wah ini didirikan bukan atas dasar madzhab tertentu dalam masalah furu’. Gerakan ini harus dapat
merekut semua umat Islam untuk mempersatukan mereka dalam bingkai aqidah.
Dalam
menghadapi masalah-masalah furu’ ini, hendaknya diambil yang lebih kuat dalil dan
argumentasinya, dan tidak mengecilkan atau menyepelekan pendapat orang lain,
meskipun ia berada di luar orbit gerakan da’wah ini. Islam mengajarkan
kita melihat content (esensi) pendapatnya, bukan siapa yang berpendapat.
Memperbesar masalah-masalah juz’iyah dan far’iyah, dengan mengenyampingkan
masalah kulliyat (prinsip).
Imam Hasan Al-Banna rahimahullah telah
menghimbau kita agar kembali kepada kaidah bijaksana: “Hendaknya kita bekerjasama
dalam hal yang disepakati, dan saling tenggang rasa dalam masalah yang masih
diperselisihkan.”
Membatasi gerakan da’wah ini membicarakan Islam
dalam hal-hal tertentu yang tidak menyinggung para penguasa pemerintahan maupun
para pemimpin gerakan da’wah Islam. Padahal kita diwajibkan menyuguhkan Islam
secara utuh, mengajak dan mengamalkannya secara utuh pula.
4.
Penyimpangan dalam Khiththah (Langkah-Langkah Strategis)
Mengikuti Pola Partai Politik Sekuler.Dalam
hal ini menjadikan politik sebagai panglima, bukan lagi da’wah. Menitik beratkan pada
faktor kuantitas pendukung (bukan kualitas), dengan tujuan mengumpulkan suara
sebanyak-banyaknya dalam pemilu.
Ini merupakan penyimpangan yang membahayakan
bangunan da’wah. Sasaran kita bukan sekedar mencari orang yang mau memberkan
suaranya di pemilu, tetapi kita membutuhkan orang yang siap mengorbankan harta
dan jiwanya di jalan Allah.
Kita membutuhkan orang yang sabar, mau
berkorban, tabah, bersedia menanggung beban-beban da’wah, memahami kepentingannya
dan bertanggung jawab terhadap amanah yang dibebankan kepadanya.
Kita menginginkan orang-orang yang mencari
akhirat, bukan mereka yang memburu pangkat. Kita mencari orang-orang yang rindu
kampung surgawi, bukan orang-orang yang memburu kekuasaan duniawi. Kita
menginginkan orang-orang yang kommit dengan nilai-nilai syar’i, bukan orang-orang yang terobsesi
kursi. Kita menginginkan orang-orang yang selalu ingat akan janji Allah, bukan
orang yang cepat lupa dengan janji-janji yang dia lontarkan pada waktu
kampanye.
Kita tidak menginginkan gerakan da’wah ini dikuasai oleh
orang-orang yang berambisi kekuasaan dan harta semata, dengan segala kewenangan
dan fasilitasnya. Kita juga tidak butuh orang-orang yang gemar melakukan
lompatan-lompatan yang tidak syar’i untuk meraih ambisi-ambisi pribadinya. Tetapi kita
butuh orang-orang yang akan bekerja menegakkan Dienullah, dan beriltizam pada
syari’at serta menjauhi cara-cara pencapaian tujuan yang tidak syar’i.
Mengabaikan Faktor TarbiyahTiadanya
perhatian yang layak terhadap tarbiyah akan menyebabkan rendahnya tingkat
pemahaman setiap individu, yang pada gilirannya tidak akan melahirkan kader
yang mampu membantu meringankan beban jama’ah. Tarbiyah berpengaruh
terhadap ketahanan kader dalam menghadapi tantangan dan tuntutan amal di jalan
da’wah, baik pada saat-saat kritis yang membutuhkan pengorbanan, maupun
ketika panggilan jihad telah dikumandangkan.
Penyebab
terabaikannya faktor tarbiyah:
o. Aktifitas
politik mendominasi seluruh amal da’wah, sehingga waktu, tenaga, fikiran dan dana
tersedot ke aktifitas tersebut.
o. Tidak
terpenuhinya kebutuhan akan murabbi, dan naqib, sehingga menyebabkan rendahnya
kualitas pembinaan kader yang berujung pada stagnasi pertumbuhan kader.
o. Usrah atau halaqah berubah menjadi forum
sosialisasi qadhaya, bukan solusi qadhaya. Usrah hanya menjadi forum mencari
info dan pengumuman, padahal semestinya sebagai wadah pembinaan, pembentukan
serta perbaikan akhlak, ruhani dan intelektualitas.
o. Usrah atau halaqah hanya menjadi wadah
untuk membentuk kader-kader da’wah yang tak siap berdialog secara kritis dan
analistis, karena lebih ditekankan metode indoktrinasi, ketimbang diskusi.
o. Mengabaikan
Prinsip “The Right Man on The Right Place” dalam penyusunan struktur
jama’ah da’wah.Penyimpangan lain yang berbahaya adalah menempatkan kader pada
struktur jama’ah yang tidak sesuai potensi dan kemampuannya, tetapi berdasarkan “like and dislike”. Juga memberi amanah atau
tugas kepada kader yang tidak sesuai dengan kompetensinya. Hal ini dapat
merusak efektifitas gerakan serta menyeret pada ekses-ekses yang dapat
melemahkan eksistensi jama’ah dan mempermudah timbulnya berbagai penyakit lain.
o. Menerima
Prinsip dan Ideologi SekulerRabbaniyah adalah prinsip dasar da’wah setiap gerakan Islam. Da’wah pada hakikatnya
memperjuangkan nilai-nilai Rubbubiyah, Uluhiyah, Mulkiyah dengan cara-cara yang
diizinkan Rabb dan dicontohkan oleh Rasul-Nya, oleh kader-kader Rabbani (para
Murabbi dan mutarabbi), demi mencari ridha Allah. Dengan demikian kita tidak
boleh menerima prinsip dan ideologi Sekularisme, Nasionalisme, Pluralisme,
Liberalisme, Komunisme, Kapitalisme juga Sosialisme, walaupun diberi
embel-embel Islam di belakangnya.
o. Membiarkan Jama’ah Dipimpin dan Dikuasai
Orang yang Tidak JelasGerakan Islam harus memiliki kepribadian Islam yang
jelas, dalam pemahaman, tujuan, langkah dan keputusan-keputusannya. Ia tidak
boleh tunduk kepada penguasa. Tidak boleh tergiur oleh harta dan tahta.
Musuh-musuh gerakan Islam memiliki cara tertentu untuk menghancurkan gerakan da’wah. Apabila cara-cara fisik
dianggap tidak efektif meredam laju gerakan da’wah, maka adakalanya mereka
menggunakan cara yang lebih halus tetapi daya rusaknya hebat. Seperti misal,
menyusupkan agen intelijen ke dalam saf gerakan Islam. Agen ini berusaha untuk
diterima seluruh elemen jama’ah, menempel pada qiyadah jama’ah, mempengaruhinya dalam
setiap pengambilan keputusan, dan secara licin dan lihai membelokkan arah
gerakan ini menuju lembah kebinasaan. Sejarah keruntuhan kekhalifahan
Utsmaniyah di Turki, karena disusupi intelijen Yahudi, mestinya menjadi
pelajaran berharga bagi setiap gerakan Islam.
o. Berpartisipasi
dalam Pemerintahan yang Tidak Menjalankan hukum AllahPada dasarnya kita tengah
berupaya menjalankan hukum Allah dan tidak akan menyetujui hukum atau aturan
apapun yang bertentangan dengan syari’at Allah. Tidak dapat dibenarkan kader gerakan Islam
ikut masuk dan berpartisipasi dalam pemerintahan yang tidak menjalankan syari’at Islam, apalagi apabila
dia tidak mampu mempengaruhi pemerintahan tersebut, dan bahkan menjadi
terpengaruh oleh sistem yang tidak islami. Sikap ini termasuk penyimpangan dari
tujuan gerakan Islam ini.
Mungkin dalam situasi kondisi tertentu, atas
izin jama’ah, setelah melalui pertimbangan syari’ah dan politik yang matang,
diperlukan ikut serta dalam pertimbangan. Dengan pengertian pemerintahan
tersebut dalam transisi menuju terbentuknya sistem pemerintahan Islam yang
sempurna. Hal ini dapat dibenarkan dengan syarat ada kontrak politik tertulis
berupa jaminan bahwa pemerintah setuju untuk mewujudkan hal tersebut. Hal ini
tidak boleh diserahkan kepada ijtihad pribadi. Apabila kesepakatan itu
dilanggar, maka kita harus segera melepaskan diri dari partisipasi tersebut,
agar tidak tertipu dan tergelincir dari tujuan gerakan da’wah yang mulia ini.
Berkoalisi dengan Pihak Lain dengan
Mengorbankan Prinsip dan Tujuan Da’wahDengan sebab dan alasan apapun, tidak dibenarkan
mengadakan koalisi dengan pihak-pihak yang tidak memiliki kesamaan ideologi,
visi dan misi dalam memperjuangkan tegaknya syari’at Allah. Apalagi jika
koalisi tersebut harus mengorbankan prinsip-prinsip Islam yang akan diwujudkan
melalui perjuangan kita selama ini.
“Mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak, maka
mereka pun bersikap lunak pula kepadamu.” (QS. Al-Qalam:9)
Begitu pula, tidak dibenarkan melakukan
koalisi sdengan mengorbankan sasaran dan target yang selama ini kita berusaha
mencapainya. Kalau hal ini dilakukan, berarti kita telah menjurus kepada
penyimpangan dan pergeseran dari prinsip, serta menyeret semua amal dan
pengorbanan ke arah yang tidak benar. Bahkan meratakan jalan bagi musuh untuk
menguasai dan menentukan arah dan langkah pergerakan kita.
Karena itu, menjadi kewajiban kita semua
untuk mengingatkan agar jangan mengangkat orang-orang yang tidak jelas ideologi
perjuangannya menjadi pemimpin. Jangan memberi dukungan kepada orang-orang yang
zhalim dan korup. Jangan tunduk kepada mereka karena iming-iming harta dan
posisi. Jangan mengadakan perjanjian yang akan membahayakan eksistensi gerakan
Islam. Mari kita berhati-hati, dan tidak memberikan kepercayaan, dukungan dan loyalitas
kepada musuh-musuh Allah. Allah telah mengingatkan:
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari
Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan
RasulNya, walaupun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara,
atau kerabat mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan ke
dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang
dari-Nya. Mereka akan dimasukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pu ridha
terhadap Allah. Mereka itulah Hizbullah (Partainya Allah). Ketahuilah bahwa
sesungguhnya Partai Allah itulah yang akan memperoleh kemenangan.” (QS. Al-Mujadalah:22)
Mengabaikan Prinsip dan Keputusan SyuraAllah
mewajibkan syura kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun
beliau telah mendapat wahyu. Beliau selalu melaksanakan syura bersama para
sahabatnya karena perintah Allah dan sebagai tasyri’ bagi umat Islam. Untuk
itulah, beliau mengikuti pendapat Habbab dalam perang Badar, dan mengikuti
usulan Salman dalam perang Khandaq.
Syura penting kedudukannya dalam gerakan
Islam dan “amal jama’i”. Dengan syura akan diperoleh pendapat yang lebih matang dan benar. Ia
memberi kesadaran akan dasar-dasar keikutsertaan dalam tanggung jawab. Syura
juga menumbuhkan suasana saling percaya dan kerjasama antara semua anggota jama’ah.
Setiap individu dalam gerakan Islam
dituntut agar bersifat positif dan aktif dalam da’wah. Ia harus ikut
memikirkan, memberikan pandangan-pandangan dalam mewujudkan kemanfaatan,
menghindari kemuidharatan, serta membantu qiyadahnya dengan pemikiran, ide,
gagasan, serta nasihat, sesuai dengan adab da’wah.
Kepada
para qiyadah, apapun jabatannya, harus bermusyawarah dengan para kadernya.
Memanfaatkan pandangan dan pemikiran mereka dalam menghadapi persoalan dan
kemelut. Berlapang dada dalam menerima nasihat yang diberikan kader, walaupun
dirasa pahit dan caranya kurang berkenan, agar da’wah tidak kehilangan
kebaikan yang terkandung di dalam nasihat tersebut.
Semoga
Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kedua amirul mukminin Abu Bakar
radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu yang ketika memberi sambutan di hari
pelantikannya sebagai Khalifah, keduanya meminta teguran rakyat atas segala
bentuk penyelewengan.
Amirul mukminin Umar radhiyallahu ‘anhu bersikap lapang dada
terhadap seorang rakyat yang berkata lantang kepadanya di hadapan masyarakat
banyak: “Kalau kami melihat Anda melakukan penyimpangan, maka kami akan
meluruskannya dengan pedang kami!”
Pelanggaran terhadap prinsip dan keputusan
syura yang dilakukan qiyadah, apapun jabatannya, ilmu dan keahliannya,
disamping menyimpang dari khiththah perjuangan, juga berarti pengkhianatan terhadap
misi da’wah.
Begitu
pula bagi para kader yang bersikap pasif, tidak memberikan pendapat, masukan
dan nasihat kepada qiyadah, serta merasa tidak bertanggung jawab atas masalah
tertentu yang strategis, adalah bentuk penyimpangan dan pelanggaran atas
prinsip syura dalam da’wah.
Di antara bentuk penyimpangan lain dari
prinsip syura yang berbahaya adalah menjadikan syura sebagai formalitas belaka
yang kering dari esensi. Ada Majelis Syura, namun pembentukannya diintervensi
dan keputusannya direkayasa oleh pihak-pihak tertentu. Islam menolak segala
bentuk manipulasi dan penipuan. Sangat ketat dalam proses pemilihan anggota
Majelis Syura, karena mereka bukan saja bertanggung jawab kepada jama’ah; tetapi juga kepada
rakyat dan yang paling penting kepada Allah Yang Maha Tahu. Pemilihan anggota
majelis syura harus melibatkan semua kader dan elemen jama’ah, dengan mempertimbangkan
kebenaran, keadilan dan keridhaan Allah, bukan keridhaan qiyadah. Barangsiapa
melanggar hal ini, berarti telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang-orang
beriman.
Demikianlah sebagian dari bentuk-bentuk
penyimpangan dalam gerakan Islam yang dapat menggelincirkan kita dari tujuan da’wah yang mulia dan suci.
Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla melindungi kita dari hal-hal tersebut di
atas. Hasbunallahu wani’mal wakil, ni’mal mawla wa ni’man-nashir.
Wallahu
a'lam bish-shawwab.