Oleh Yoga Yulianto - Wakil Ketua Departemen Kajian Strategi PK KAMMI UPI
Agustus 1945, bulan dimana Bom atom yang diluncurkan oleh tentara
sekutu kepada dua kota besar di jepang, yakni hiroshima dan nagasaki,
seketika meluluhlantakkan seluruh isi kota dan sangat meruntuhkan moral
juang prajurit negeri matahari terbit. Dengan segala pertimbangan yang
dilakukan, maka tak lama setelah itu jepang menyatakan diri untuk
menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu pada perang dunia ke-2.
Bangsa Jepang yang dengan kekalahannya tersebut, mulai kembali meniti
puing-puing yang rontok sebagai dampak dari kekalahan perang. Ada
sebuah perkataan yang cukup terkenang yang dilontarkan oleh Kaisar
Jepang kala itu, Hirohito, kala keadaan negeri yang sedang diguncang
krisis multi-dimensi, dengan tenangnya beliau mengatakan “berapa jumlah
guru yang masih tersisa?”, makna yang terkandung didalam perkataan
tersebut adalah, bahwa beliau memulai kembali pembangunan bangsa Jepang
pasca perang, dengan menitikberatkan pada sektor pendidikan.
Sejarah yang pernah terjadi tentu banyak memberikan hikmah yang dapat
kita petik sebagai bekal dalam melanjutkan rintisan perjuangan yang
telah diproklamatori oleh para pendahulu negeri. Jika dikorelasikan
antara hikmah yang terbesit dalam perkataan kaisar Hirohito pasca perang
dunia ke-2 dengan kondisi Indonesia hari ini, kita semua akan sepakat
bahwa kunci utama pembangunan bangsa adalah pendidikan, terlepas dari
berbagai krisis pada sektor kehidupan lainnya yang tak dapat dipungkiri
akan selalu ditemui pada seluruh bangsa yang belum lama menyatakan
dirinya merdeka dari segala bentuk penjajahan.
Mengacu pada definisi pendidikan dalam pasal 1 poin 1 UU Sisdiknas
no. 20 tahun 2003, bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sangatlah kentara ruh
idealisme yang terkandung dalam makna pendidikan yang didefinisikan
didalam UU tersebut. Namun seiring dengan perjalanannya, antara
idealisme yang menjadi sebuah harapan dengan realitas yang dihadapi
dalam penyelenggaran pendidikan nasional hingga hari ini masih mengalami
ketimpangan, atau dalam kata lain masih ada masalah yang menjadi
pekerjaan rumah yang harus secara bersama dipikirkan oleh seluruh elemen
penghuni negeri ini.
Yang menjadi pertanyaan adalah, sudah seberapa jauh upaya yang telah
dilakukan oleh segenap elemen bangsa dalam mewujudkan tujuan ideal
pendidikan tersebut? Dengan mengacu pada pertanyaan, jika kita kaji
mengenai masalah pendidikan hari ini, dapat kita jumpai terdapat 2
kategori masalah pendidikan secara garis besar, yakni permasalahan
mendasar dalam penyelenggaran pendidikan, dengan permasalahan cabang
yang juga dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan.
Permasalahan Mendasar Pendidikan serta Solusi dalam Menyikapinya
Ada hal yang rancu dalam penyelenggaraan pendidikan di negeri
berketuhanan yang berazaskan pancasila ini. Pengejewantahan dari sila-1
pancasila yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, seharusnya mengarahkan
pola pendidikan Indonesia tentang bagaimana setiap individu yang
mengenyam pendidikan dapat menjadi pribadi yang berkarakter, dengan
bekal iman dan taqwa sebagai landasan dalam menjalani kehidupan.
Alih-alih pendidikan yang berketuhanan, pendidikan hari ini justru
mengalami sekulerisasi. Sekulerisasi yang dimaksud tidak selamanya
dikatakan anti-agama seperti yang ditafsirkan oleh beberapa kalangan,
melainkan menolak kehadiran agama dalam mengatur urusan publik, walaupun
mungkin secara individu orang yang berada didalam sistem tersebut
adalah orang yang boleh dikatakan beriman dan bertaqwa.
Hal ini dapat terlihat secara gamblang dari kebijakan dikotomisasi
pendidikan, yakni pemisahan antara sekolah berbasis disiplin agama
dengan sekolah berbasis pendidikan umum, dimana sekolah berbasis
disiplin agama seperti madrasah, institut agama dan pesantren berada
dibawah kementrian agama, sedangkan sekolah berbasis pendidikan umum
yang berada dibawah kementrian pendidikan dan kebudayaan. Dampak yang
ditimbulkan dari kebijakan ini adalah output dari sistem pendidikan yang
dimana para alumnus sekolah berbasis disiplin agama memiliki integritas
kepribadian yang baik namun disatu sisi aspek penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi masih kurang tergarap secara baik. Kebalikan
dari hal tersebut, boleh jadi sekolah berbasis pendidikan umum secara
aspek penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi cukup tergarap secara
baik, namun disatu sisi aspek integritas kepribadian tidak ada jaminan.
Ketidakproporsionalan jam pelajaran pendidikan agama serta mata
pelajaran lain yang disampaikan seolah-olah terpisah dari hubungannya
dengan agama, menjadi salah satu penyebab mengapa terjadi ketimpangan
antara penggarapan aspek intelektual peserta didik dengan karakterisasi
nilai-nilai etika, moral, dan agama.
Solusi yang mungkin bisa ditawarkan berkenaan dengan masalah tersebut
yakni dengan perombakan secara struktural dengan menggunakan prinsip
integralitas antara pendidikan agama dengan pendidikan umum, pemberian
jam mata pelajaran agama yang lebih proporsional, serta menyiapkan
pendidik yang mampu menjadi pengayom peserta didik, baik dari skala
kognitif, afektif, dan psikomotorik, serta seorang figur yang dapat
dipertanggungjawabkan tingkat ketaqwaannya, bukan hanya sekedar
memposisikan diri sebagai pengajar yang hanya terbatas ruang lingkupnya
dalam ranah transfer pengetahuan saja.
Permasalahan Cabang dalam Penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia Serta Solusi yang Dapat Ditawarkan
Selain dari masih terdapatnya kesalahan dalam pijakan paradigma
penyelenggaraan pendidikan kita, juga terdapat permasalahan cabang di
dalam penyelenggaraan pendidikan di lapangan. Berbagai permasalahan
cabang tersebut akan dijabarkan sebagai berikut:
a) Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Bisa kita lihat di berbagai media massa, banyaknya sarana dan
prasarana bangunan sekolah yang mengalami kerusakan, baik kerusakan
ringan, sedang, hingga berat. Keadaan seperti ini tersebar terjadi di
berbagai daerah di pelosok tanah air. Upaya perbaikan yang dilakukan
oleh pemerintah maupun swadaya masyarakat telah gencar dilakukan, namun
ibarat pepatah, besar pasak daripada tiang, alokasi anggaran yang
terbatas belum memungkinkan dilakukannya perbaikan secara menyeluruh di
berbagai daerah secara keseluruhan.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat
146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258
ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau
42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan
dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau
kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi
MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di
SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
b) Rendahnya Kualitas Guru
Mayoritas guru dalam kuantitas skala nasional masih belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana
disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran,
melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan
pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak
layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun
2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak
mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12%
(negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73%
(swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26%
(swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan
guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari
sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma
D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs
baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di
tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki
pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen,
baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Setali tiga uang, Kualitas guru yang masih berada dibawah standar
kualifikasi tersebut tentunya akan berdampak pada kualitas output para
peserta didik yang berada di bawah standar kualifikasi pula.
c) Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya
kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru
Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru
menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan
rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460
ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan
dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan
kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan
mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji
pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau
tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya.
Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas
rumah dinas.
Namun, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi
masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah
kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran
Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan
Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai
dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
d) Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas
guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi
tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika
siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in
Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya
berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika
dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal
ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura
sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for
Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang
kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya
yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan
ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila
dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada
jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992),
studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational
Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa
kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca
untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6
(Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi
bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk
uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat
terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and
Science Study-Repeat TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa,
diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada
pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia
pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang
disurvei di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia
hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
e) Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah
Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat
Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka
Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai
94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi.
Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8%
(9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih
sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan
menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh
karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang
tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
f) Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur.
Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka
pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%,
Diploma sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang
sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing
tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data
Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus
sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan
masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil
pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang
materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika
peserta didik memasuki dunia kerja.
g) Mahalnya Biaya Pendidikan
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari
kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah).
MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk
melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan
yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas.
Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu
berkedok, "sesuai keputusan Komite Sekolah". Namun, pada tingkat
implementasinya, ia tidak
transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite
Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya,
Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan
MBS pun hanya
menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum
Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke
bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat
besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat
melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik
badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun
berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS
adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN
sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa
Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor
pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk
memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40
persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi
pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti
pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8
persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan.
Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja
dalam APBN (www.kau.or.id).
Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui
sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,
RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan
pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1)
UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam
pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal
yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk
diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education
Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai
bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah
melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Alhasil, sekolah memiliki otonomi
untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu
akan memasang badan disini, mematok biaya setinggi-tingginya untuk
meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses bagi kalangan
kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan
masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang
kaya dan miskin.
Tawaran Solusi Terhadap Permasalahan Cabang dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Kita buat urutan terlebih dahulu apa saja yang menjadi permasalahan cabang di dalam penyelenggaraan pendidikan:
a) Rendahnya kualitas sarana fisik
b) Rendahnya kualitas guru
c) Rendahnya kesejahteraan gutu
d) Rendahnya prestasi siswa
e) Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan
f) Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan
g) Mahalnya biaya pendidikan
Poin a, c, dan g adalah permasalahan cabang pendidikan yang berkaitan
dengan alokasi anggaran. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa
aturan dalam perundang-undangan mengharuskan pemerintah untuk
mengalokasikan minimal 20% dari total APBN per tahunnya untuk biaya
pendidikan. Mengacu pada UU tersebut, sudah menjadi keharusan pemerintah
untuk mematuhinya. Berkaitan mengenai pendanaan pendidikan, erat
hubungannya dengan sistem ekonomi nasional. Krisis ekonomi yang
berlarut-larut yang dialami oleh Indonesia khususnya, belum juga membuat
pemerintah melek bahwa ada yang salah dengan sistem ekonomi
yang digunakan sekarang. Sebagai alternatif, sistem ekonomi syariah
islam sangatlah menjanjikan untuk bisa digunakan dalam skala nasional.
Sistem ekonomi syariah islam telah terbukti selama berabad-abad mampu
bertahan dikala sistem yang lain mengalami kemunduran. Sistem ekonomi
syariah islam memberikan alternatif yang dimana seluruh pembiayaan
pendidikan ditanggung oleh negara.
Poin b, d, e, dan f adalah permasalahan cabang pendidikan yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan langsung di lapangan. Ketika
anggaran dana pendidikan telah memadai, maka pengembangan teknologi
dalam dunia pendidikan adalah hal urgen yang selanjutnya perlu
diperhatikan oleh pemerintah. Dampak positif dari globalisasi salah
satunya adalah perkembangan iptek. Kita bisa manfaatkan berbagai
perkembangan iptek yang ada demi sebesar-besarnya kemaslahatan
pendidikan nasional.
0 komentar:
Posting Komentar